Harry Hikmat: Kalau Ada Bencana, Bareng-bareng Bangunnya, Biar Bisa Dikoordinasikan


 Pasca gempa yang terjadi di Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB), banyak tempat tinggal rusak dan masyarakat kehilanganharta bendanya. Lalu apa langkah pemerintah untuk menangani hal tersebut? Berikut wawancara selengkapnya dengan Dirjen Perlindungan dan Jaminan Sosial Kemensos, Harry Hikmat selengkapnya :

Penanganan bencana di Lombok bagaimana hingga saat ini?

Kalau untuk bantuan kedaru­ratan Kemensos sudah siapkan itu semua, seperti dapur umum, posko kita turunkan, TAGANA juga sudah kita turunkan dari berbagai kabupaten, logistik ju­ga sudah kita lengkapi, perleng­kapan keluarga, perlengkapan anak-anak dan juga makanan siap saji. Sejak beberapa hari lalu dapur umum lapangan juga sudah mulai bekerja. Mereka bisa membuat 1.000-2.000 nasi bungkus perhari, itu bukan hanya untuk korban namun juga untuk relawan. Sehingga para relawan bisa bekerja secara total agar bisa memastikan program penanganan.

Apa yang akan dilakukan oleh Kemensos, mengingat bencana ini bisa memuncul­kan angka kemiskinan baru?
Yang jelas begini, sejak tahun 2016 ada skema perlindungan sosial adaptif, artinya kita harus meningkatkan kesejahteraan juga namun kita juga harus melihat keluarga-keluarga yang menurun kesejahteraannya aki­bat beberap faktor, termasuk bencana. Nah kita harus pas­tikan bahwa mereka-meraka yang terkena bencana harus dipastikan mendapat respon dari program-program perlindungan sosial termasuk PKH (Program Keluarga Harapan) agar mereka tidak terpuruk ke jurang kemiskinan yang lebih. Seperti korban bencana.

Nah skema perlindungannya, setiap terjadi bencana harus diverifikasi keluarga-keluarga yang terpuruk atau jatuh miskin karena kehilangan harta benda, kehilangan rumah, kehilangan penghasilan atau pendapatan karena cacat atau kehilangan pekerjaan, nah itu kan jelas kalau mereka jatuh miskin, berarti itu kan bisa diverifikasi.

Jadi sesuai indikator mereka kekurangan, justru akan inisiatif atau target baru dalam PKH. Ini sudah berjalan, dari yang sebelumnya hanya belasan orang sekarang sudah menjadi ratusan, bahkan sudah seribuan lebih. Nah termasuk yang sekarang ini di Lombok, NTB. Kalau mereka jatuh miskin karena rumahnya hancur, mereka tidak punya penghasilan lagi, mungkin mereka bisa terima PKH.

Memang butuh waktu bera­pa lama untuk melakukan verifikasi data tersebut?
Padahal sih kalau dinas so­sialnya aktif, dari awal mereka mendata dengan baik dan bersinergi. Misalnya begini, kan ada program pembenahan rumah, pengalaman di Aceh, ada rumah yang rusak dan dibangun kembali oleh BNPB, itu kan ada identifikasi. Kalau sudah BNPB turun untuk perbaikan rumah, maka kita turun untuk ke sistem jaminan hidupnya dan isian hunian. Namun karena kurang terkoordinasi.

Maksudnya kurang terkoor­dinasi bagaimana?

Jadi begini, kan ada juga lem­baga turun mendata yang rusak, bahkan setelah turun teredu­kasi, diratakan kan rumahnya. Nah kehilangan data kan kita. Akhirnya kita ulang lagi dengan menurunkan TAGANA untuk sinkronisasi dengan para pihak yang melakukan pendataan. Harapan kami kalau ada ke­jadian begini, bareng-bareng dong membangunnya. Sehingga bisa dikoordinasikan ke BNPB atau ke Dinas Sosial bersama para petugas masing-masing. Jadi kita punya database yang lengkap, yang bisa digunakan untuk beberapa kepentingan, misalnya untuk PKH, untuk renovasi rumah, untuk jaminan hidup termasuk untuk santunan luka berat. Kan semua itu ada­lah database yang rinci. Bukan hanya kepala keluarga saja, namun dengan segala kebutuhan yang mereka perlukan, termasuk kerusakan rumah itu sudah ada sistem pencatatannya. Itu kan butuh waktu. Makanya saya su­dah jelaskan, TAGANA itu kan sudah dilatih, mereka sudah di­latih untuk mengisi form, kalau misalnya mereka mengisi form tersebut dengan baik, maka un­tuk keperluan program apapun dan untuk memenuhi kebutuhan program kementerian/lembaga lain bisa kami penuhi.

Apakah membutuhkan wak­tu hingga satu tahun proses tersebut?

Oh enggak. Misalnya saja yang di Pangandaran. Kasus tanah longsor, gempa, banjir itu sudah kita selesaikan, itu besarnya Rp 4,9 miliar untuk bantuan rumah. Itu kan kejadian­nya pada bulan November 2017, jadi tidak sampai setahun. Paling lama enam bulan. Harusnya sih kalau seperti di Banjarnegara saja hanya satu bulan, kita langsung keluarkan. Kita kan ada dana hibah. Makanya kan Kemensos yang paling cepat, karena ada dana hibah, bukan APBN. ***

Posting Komentar

0 Komentar